Masa remaja merupakan suatu fase perkembangan antara masa kanak-kanak dan masa dewasa. Dimana pada
masa ini remaja memiliki kematangan emosi, sosial, fisik dan psikis. Remaja
juga merupakan tahapan perkembangan yang harus dilewati dengan berbagai
kesulitan. Dalam tugas perkembangannya, remaja akan melewati beberapa fase
dengan berbagai tingkat kesulitan permasalahannya sehingga dengan mengetahui
tugas-tugas perkembangan remaja dapat mencegah konflik yang ditimbulkan oleh
remaja dalam keseharian yang sangat menyulitkan masyarakat, agar tidak salah
persepsi dalam menangani permasalahan tersebut. Pada masa ini juga kondisi
psikis remaja sangat labil. Karena masa ini merupakan fase pencarian jati diri.
Biasanya mereka selalu ingin tahu dan mencoba sesuatu yang baru dilihat atau
diketahuinya dari lingkungan sekitarnya, mulai lingkungan keluarga, sekolah,
teman sepermainan dan masyarakat. Semua pengetahuan yang baru diketahuinya
diterima dan ditanggapi oleh remaja sesuai dengan kepribadian masing-masing.
Disinilah peran lingkungan sekitar sangat diperlukan untuk membentuk
kepribadian seorang remaja.
Setiap remaja
sebenarnya memiliki potensi untuk dapat mencapai kematangan kepribadian yang
memungkinkan mereka dapat menghadapi tantangan hidup secara wajar di dalam
lingkungannya, namun potensi ini tentunya tidak akan berkembang dengan optimal
jika tidak ditunjang oleh faktor fisik dan faktor lingkungan yang memadai.
Dalam pembentukan kepribadian seorang remaja, akan selalu ada beberapa faktor
yang mempengaruhi yaitu faktor risiko dan faktor protektif. Faktor risiko ini
dapat bersifat individual, konstekstual (pengaruh lingkungan), atau yang
dihasilkan melalui interaksi antara individu dengan lingkungannya. Faktor
risiko yang disertai dengan kerentanan psikososial, dan resilience pada
seorang remaja akan memicu terjadinya gangguan emosi dan perilaku yang khas
pada seorang remaja. Sedangkan faktor protektif merupakan faktor yang
memberikan penjelasan bahwa tidak semua remaja yang mempunyai faktor risiko
akan mengalami masalah perilaku atau emosi, atau mengalami gangguan tertentu.
Rutter (1985) menjelaskan bahwa faktor protektif merupakan faktor yang
memodifikasi, merubah, atau menjadikan respons seseorang menjadi lebih kuat
menghadapi berbagai macam tantangan yang datang dari lingkungannya. Faktor
protektif ini akan berinteraksi dengan faktor risiko dengan hasil akhir berupa
terjadi tidaknya masalah perilaku atau emosi, atau gangguan mental kemudian
hari.
Lemahnya emosi
seseorang akan berdampak pada terjadinya masalah di kalangan remaja,
misalnya bullying yang sekarang kembali mencuat di media.
Kekerasan di sekolah ibarat fenomena gunung es yang nampak ke permukaan hanya
bagian kecilnya saja. Akan terus berulang, jika tidak ditangani secara tepat
dan berkesinambungan dari akar persoalannya.
Budaya bullying (kekerasan) atas nama
senioritas masih terus terjadi di kalangan peserta didik. Karena meresahkan,
pemerintah didesak segera menangani masalah ini secara serius. Bullying adalah
suatu bentuk kekerasan anak (child abuse) yang
dilakukan teman sebaya kepada seseorang (anak) yang lebih ‘rendah’ atau lebih
lemah untuk mendapatkan keuntungan atau kepuasan tertentu. Biasanya bullying terjadi
berulang kali. Bahkan ada yang dilakukan secara sistematis. Dari menjamurnya,
kasus – kasus bullying yang ada di lembaga pendidikan di
Indonesia khususnya lingkungan sekolah, penulis mengambil tema yang berkaitan
dengan perilaku bullying di jenjang pendidikan.
Definisi bullying merupakan
sebuah kata serapan dari bahasa Inggris. Bullying berasal dari
kata bully yang artinya penggertak, orang yang mengganggu
orang yang lemah. Beberapa istilah dalam bahasa Indonesia yang seringkali
dipakai masyarakat untuk menggambarkan fenomena bullying di
antaranya adalah penindasan, penggencetan, perpeloncoan, pemalakan, pengucilan,
atau intimidasi (Susanti, 2006).
Barbara Coloroso (2003:44) : “Bullying adalah
tindakan bermusuhan yang dilakukan secara sadar dan disengaja yang bertujuan
untuk menyakiti, seperti menakuti melalui ancaman agresi dan menimbulkan
terror. Termasuk juga tindakan yang direncanakan maupun yang spontan bersifat
nyata atau hampir tidak terlihat, dihadapan seseorang atau di belakang
seseorang, mudah untuk diidentifikasi atau terselubung dibalik persahabatan,
dilakukan oleh seorang anak atau kelompok anak.
Banyak para ahli yang mengemukakan pendapatnya
mengenai bullying. Seperti pendapat Olweus (1993) dalam
pikiran rakyat, 5 Juli 2007: “Bullying can consist of any action that is used
to hurt another child repeatedly and without cause”. Bullying merupakan
perilaku yang ditujukan untuk melukai siswa lain secara terus-menerus dan tanpa
sebab. Sedangkan menurut Rigby (2005; dalam Anesty, 2009) merumuskan bahwa
“bullying” merupakan sebuah hasrat untuk menyakiti. Hasrat ini diperlihatkan
dalam aksi, menyebabkan seseorang menderita. Aksi ini dilakukan secara langsung
oleh seseorang atau sekelompok orang yang lebih kuat, tidak bertanggung jawab,
biasanya berulang dan dilakukan dengan perasaan senang (Retno Astuti, 2008:
3).Riauskina, Djuwita, dan Soesetio (2001) mendefinisikan school bullying
sebagai perilaku agresif kekuasaan terhadap siswa yang dilakukan berulang-ulang
oleh seorang/kelompok siswa yang memiliki kekuasaan, terhadap siswa lain yang
lebih lemah dengan tujuan menyakiti orang tersebut.
Beberapa ahli meragukan pengertian-pengertian
di atas bahwa bullying hanya sekedar keinginan untuk menyakiti
orang lain, mereka memandang bahwa “keinginan untuk menyakiti seseorang” dan
“benar-be nar menyakiti seseorang” merupakan dua hal yang jelas berbeda. Oleh
karena itu beberapa ahli psikologi menambahkan bahwa bullying merupakan
sesuatu yang dilakukan bukan sekedar dipikirkan oleh pelakunya, keinginan untuk
menyakiti orang lain dalam bullying selalu diikuti oleh tindakan negatif.
Dari berbagai definisi di atas dapat
disimpulkan bahwa bullying merupakan serangan berulang secara
fisik, psikologis, sosial, ataupun verbal, yang dilakukan dalam posisi kekuatan
yang secara situasional didefinisikan untuk keuntungan atau kepuasan mereka
sendiri. Bullying merupakan bentuk awal dari perilaku agresif
yaitu tingkah laku yang kasar. Bisa secara fisik, psikis, melalui kata-kata,
ataupun kombinasi dari ketiganya. Hal itu bisa dilakukan oleh kelompok atau
individu. Pelaku mengambil keuntungan dari orang lain yang dilihatnya mudah
diserang. Tindakannya bisa dengan mengejek nama, korban diganggu atau diasingkan
dan dapat merugikan korban.
Barbara Coloroso (2006:47-50) membagi
jenis-jenis bullying kedalam empat jenis, yaitu sebagai
berikut:
1. Bullying secara verbal; perilaku ini dapat berupa
julukan nama, celaan, fitnah, kritikan kejam, penghinaan, pernyataan-pernyataan
yang bernuansa ajakan seksual atau pelecehan seksual, terror, surat-surat yang
mengintimidasi, tuduhan-tuduhan yang tidak benar kasak-kusuk yang keji dan
keliru, gosip dan sebagainya. Dari ketiga jenis bullying, bullying dalam
bentuk verbal adalah salah satu jenis yang paling mudah dilakukan dan bullying bentuk
verbal akan menjadi awal dari perilaku bullying yang lainnya
serta dapat menjadi langkah pertama menuju pada kekerasan yang lebih lanjut.
2. Bullying secara fisik; yang termasuk dalam
jenis ini ialah memukuli, menendang, menampar, mencekik, menggigit, mencakar,
meludahi, dan merusak serta menghancurkan barang-barang milik anak yang
tertindas. Kendati bullying jenis ini adalah yang paling
tampak dan mudah untuk diidentifikasi, namun kejadian bullying secara
fisik tidak sebanyak bullying dalam bentuk lain. Remaja yang
secara teratur melakukan bullying dalam bentuk fisik kerap
merupakan remaja yang paling bermasalah dan cenderung akan beralih pada
tindakan-tindakan kriminal yang lebih lanjut.
3. Bullying secara relasional; adalah
pelemahan harga diri korban secara sistematis melalui pengabaian, pengucilan
atau penghindaran. Perilaku ini dapat mencakup sikap-sikap yang tersembunyi seperti
pandangan yang agresif, lirikan mata, helaan nafas, cibiran, tawa mengejek dan
bahasa tubuh yang mengejek. Bullying dalam bentuk ini cenderung perilaku
bullying yang paling sulit dideteksi dari luar. Bullying secara relasional
mencapai puncak kekuatannya diawal masa remaja, karena saat itu tejadi
perubahan fisik, mental emosional dan seksual remaja. Ini adalah saat ketika
remaja mencoba untuk mengetahui diri mereka dan menyesuaikan diri dengan teman
sebaya.
4. Bullying elektronik; merupakan bentuk
perilaku bullying yang dilakukan pelakunya melalui sarana
elektronik seperti komputer, handphone, internet, website, chatting room,
e-mail, SMS dan sebagainya. Biasanya ditujukan untuk meneror korban dengan
menggunakan tulisan, animasi, gambar dan rekaman video atau film yang sifatnya
mengintimidasi, menyakiti atau menyudutkan. Bullying jenis ini
biasanya dilakukan oleh kelompok remaja yang telah memiliki pemahaman cukup
baik terhadap sarana teknologi informasi dan media elektronik lainnya.
Pada umumnya, anak laki-laki lebih banyak
menggunakan bullying secara fisik dan anak wanita banyak
menggunakan bullying relasional/emosional, namun keduanya
sama-sama menggunakan bullying verbal. Perbedaan ini, lebih
berkaitan dengan pola sosialisasi yang terjadi antara anak laki-laki dan
perempuan (Coloroso, 2006:51)
Bullying dapat terjadi dimana saja, di perkotaan, pedesaan, sekolah
negeri, sekolah swasta, di waktu sekolah maupun di luar waktu sekolah. Bullying terjadi
karena interaksi dari berbagai faktor yang dapat berasal dari pelaku, korban,
dan lingkungan dimana bullying tersebut terjadi.
Pada umumnya, anak-anak korban bullying memiliki
salah satu atau beberapa faktor resiko berikut:
·
Dianggap “berbeda”,
misalnya memiliki ciri fisik tertentu yang mencolok seperti lebih kurus, gemuk,
tinggi, atau pendek dibandingkan dengan yang lain, berbeda dalam status
ekonomi, memiliki hobi yang tidak lazim, atau menjadi siswa/siswi baru.
·
Dianggap lemah atau
tidak dapat membela dirinya.
·
Memiliki rasa percaya
diri yang rendah.
·
Kurang populer
dibandingkan dengan yang lain, tidak memiliki banyak teman.
Sedangkan untuk pelaku bullying,
Ada beberapa karakteristik anak yang memiliki kecenderungan lebih besar untuk
menjadi pelaku bullying, yaitu mereka yang:
·
Peduli dengan
popularitas, memiliki banyak teman, dan senang menjadi pemimpin diantara
teman-temannya. Mereka dapat berasal dari keluarga yang berkecukupan, memiliki
rasa percaya diri tinggi, dan memiliki prestasi bagus di sekolah. Biasanya mereka
melakukan bullying untuk meningkatkan status dan popularitas
di antara teman-teman mereka.
·
Pernah menjadi
korban bullying. Mereka juga mungkin mengalami kesulitan diterima
dalam pergaulan, kesulitan dalam mengikuti pelajaran di sekolah, mudah terbawa emosi,
merasa kesepian dan mengalami depresi.
·
Memiliki rasa percaya
diri yang rendah, atau mudah dipengaruhi oleh teman-temannya. Mereka dapat
menjadi pelaku bullying karena mengikuti perilaku teman-teman
mereka yang melakukan bullying, baik secara sadar maupun tidak
sadar.
Dalam penelitian Riauskina, Djuwita, dan
Soesetio, (2005) alasan seseorang melakukan bullying adalah karena
korban mempunyai persepsi bahwa pelaku melakukan bullying karena tradisi,
balas dendam karena dia dulu diperlakukan sama (menurut korban laki-laki),
ingin menunjukkan kekuasaan, marah karena korban tidak berperilaku sesuai
dengan yang diharapkan, mendapatkan kepuasan (menurut korban laki – laki ), dan
iri hati (menurut korban perempuan). Adapun korban juga mempersepsikan dirinya sendiri
menjadi korban bullying karena penampilan yang menyolok, tidak berperilaku
dengan sesuai, perilaku dianggap tidak sopan, dan tradisi.
Menurut psikolog Seto
Mulyadi, Bullying disebabkan karena :
1.
Menurutnya, saat ini remaja di Indonesia penuh dengan tekanan. Terutama yang
datang dari sekolah akibat kurikulum yang padat dan teknik pengajaran yang
terlalu kaku. Sehingga sulit bagi remaja untuk menyalurkan bakat nonakademisnya
Penyalurannya dengan kejahilan-kejahilan dan menyiksa.
2.
Budaya feodalisme yang masih kental di masyarakat juga dapat menjadi salah satu
penyebab bullying sebagai wujudnya adalah timbul budaya senioritas, yang bawah
harus nurut sama yang atas.
Perilaku bullying pada anak, bisa
dikarenakan :
1.
Teori Instink Mc Dougall
Menurut Mc Dougall dalam
diri setiap orang terdapat instink untuk menyerang dan berkelahi. Dorongan dari
naluri ini yaitu rasa marah karena suatu hal terutama karena merasa terancam
atau kebutuhannya tidak terpenuhi. Jadi ia melakukan bullying untuk melepaskan
emosi yang ia pendam.
2.
Teori Belajar Sosial (Social Learning)
Teori belajar sosial yang
dicetuskan oleh Bandura menekankan bahwa kondisi lingkungan dapat memberikan
dan memelihara respon-respon kekerasan pada diri seseorang. Asumsi dasar dari
teori ini yaitu sebagian besar tingkah laku individu diperoleh dari hasil
belajar melalui pengamatan yang dilakukan anak atas tingkah laku yang
ditampilkan oleh individu–individu lain yang menjadi model, yang biasanya
adalah orang terdekat di lingkungannya seperti orang tua. Anak–anak yang
melihat model orang dewasa melakukan kekerasan secara kosisten ia akan memiliki
kecenderungan berperilaku kekerasan bila dibandingkan dengan anak-anak yang
melihat model orang dewasa yang tidakmelakukan kekerasan.
3.
Pengaruh media
Tayangan televisi yang
bebas di Indonesia, dari film kartun hiburan anak-anak, adegan di sinetron,
berita kekerasan di daerah lain yang dapat dilihat secara bebas oleh anak-anak
dapat memberikan mereka contoh perilaku kekrasan yang akan ia praktekkan di sekolah.
Atau bila ia melihat hal itu secara terus menerus maka keempatiannya terhadap
perilaku kekerasan itu makin memudar, ia akan menganggap kekerasan itu adalah
hal yang wajar.
Bullying memiliki berbagai dampak negatif yang dapat dirasakan oleh semua pihak yang terlibat di dalamnya, baik pelaku, korban, ataupun orang-orang yang menyaksikan tindakanbullying.
Hasil studi yang dilakukan National Youth
Violence Prevention Resource Center Sanders (2003; dalam Anesty, 2009)
menunjukkan bahwa bullying dapat membuat remaja merasa cemas dan ketakutan,
mempengaruhi konsentrasi belajar di sekolah dan menuntun mereka untuk
menghindari sekolah. Bila bullying berlanjut dalam jangka waktu yang lama,
dapat mempengaruhi self-esteem siswa, meningkatkan isolasi sosial, memunculkan
perilaku menarik diri, menjadikan remaja rentan terhadap stress dan depreasi,
serta rasa tidak aman. Dalam kasus yang lebih ekstrim, bullying dapat
mengakibatkan remaja berbuat nekat, bahkan bisa membunuh atau melakukan bunuh
diri (commited suicide).
Coloroso (2006) mengemukakan bahayanya jika
bullying menimpa korban secara berulang-ulang. Konsekuensi bullying bagi para
korban, yaitu korban akan merasa depresi dan marah, Ia marah terhadap dirinya
sendiri, terhadap pelaku bullying, terhadap orang-orang di sekitarnya dan
terhadap orang dewasa yang tidak dapat atau tidak mau menolongnya. Hal tersebut
kemudan mulai mempengaruhi prestasi akademiknya. Berhubung tidak mampu lagi
muncul dengan cara-cara yang konstruktif untuk mengontrol hidupnya, ia mungkin
akan mundur lebih jauh lagi ke dalam pengasingan.
Terkait dengan konsekuensi bullying,
penelitian Banks (1993, dalam Northwest Regional Educational Laboratory, 2001;
dan dalam Anesty, 2009) menunjukkan bahwa perilaku bullying berkontribusi
terhadap rendahnya tingkat kehadiran, rendahnya prestasi akademik siswa,
rendahnya self-esteem, tingginya depresi, tingginya kenakalan remaja dan
kejahatan orang dewasa. Dampak negatif bullying juga tampak pada penurunan skor
tes kecerdasan (IQ) dan kemampuan analisis siswa. Berbagai penelitian juga
menunjukkan hubungan antara bullying dengan meningkatnya depresi dan agresi.
Sanders (2003; dalam Anesty, 2009) National
Youth Violence Prevention mengemukakan bahwa pada umumnya, para pelaku ini
memiliki rasa percaya diri yang tinggi dengan harga diri yang tinggi pula,
cenderung bersifat agresif dengan perilaku yang pro terhadap kekerasan, tipikal
orang berwatak keras, mudah marah dan impulsif, toleransi yang rendah terhadap
frustasi. Para pelaku bullying ini memiliki kebutuhan kuat untuk mendominasi
orang lain dan kurang berempati terhadap targetnya. Apa yang diungkapkan
tersebut sesuai dengan yang dikemukakan oleh Coloroso (2006:72) mengungkapkan
bahwa siswa akan terperangkap dalam peran pelaku bullying, tidak dapat
mengembangkan hubungan yang sehat, kurang cakap untuk memandang dari perspektif
lain, tidak memiliki empati, serta menganggap bahwa dirinya kuat dan disukai
sehingga dapat mempengaruhi pola hubungan sosialnya di masa yang akan datang.
Dengan melakukan bullying, pelaku akan
beranggapan bahwa mereka memiliki kekuasaan terhadap keadaan. Jika dibiarkan
terus-menerus tanpa intervensi, perilaku bullying ini dapat menyebabkan
terbentuknya perilaku lain berupa kekerasan terhadap anak dan perilaku kriminal
lainnya.
Jika bullying dibiarkan tanpa tindak lanjut,
maka para siswa lain yang menjadi penonton dapat berasumsi bahwa bullying
adalah perilaku yang diterima secara sosial. Dalam kondisi ini, beberapa siswa
mungkin akan bergabung dengan penindas karena takut menjadi sasaran berikutnya
dan beberapa lainnya mungkin hanya akan diam saja tanpa melakukan apapun dan
yang paling parah mereka merasa tidak perlu menghentikannya.
Selain dampak-dampak bullying yang telah dipaparkan di atas,
penelitian- penelitian yang dilakukan baik di dalam maupun luar negeri
menunjukkan bahwa bullying mengakibatkan dampak-dampak negatif sebagai berikut:
1.
Gangguan psikologis,
misalnya rasa cemas berlebihan, kesepian (Rigby K. 2003).
2.
Konsep diri sosial
korban bullying menjadi lebih negatif karena korbam merasa tidak diterima oleh
teman-temannya, selain itu dirinya juga mempunyai pengalaman gagal yang
terus-menerus dalam membina pertemanan, yaitu di bully oleh teman dekatnya
sendiri (Ratna Djuwita, dkk , 2005).
3.
Korban bullying
merasakan stress, depresi, benci terhadap pelaku, dendam, ingin keluar sekolah,
merana, malu, tertekan, terancam, bahkan ada yang menyilet-nyilet tangannya
(Ratna Djuwita, dkk , 2005).
4.
Membenci lingkungan
sosialnya, enggan ke sekolah (Forero et all.1999).
5.
Keinginan untuk bunuh
diri (Kaltiala-Heino, 1999).
6.
Kesulitan konsentrasi;
rasa takut berkepanjangan dan depresi (Bond, 2001).
7.
Cenderung kurang
empatik dan mengarah ke psikotis (Banks R., 1993).
8.
Pelaku bullying yang
kronis akan membawa perilaku itu sampai dewasa, akan berpengaruh negatif pada
kemampuan mereka untuk membangun dan memelihara hubungan baik dengan orang
lain.
9.
Korban akan merasa
rendah diri, tidak berharga (Rigby, K, 1999).
10.
Gangguan pada
kesehatan fisik: sakit kepala, sakit tenggorokan, flu, batuk- batuk,
gatal-gatal, sakit dada, bibir pecah-pecah (Rigby, K, 2003).
Berdasarkan paparan di atas, dapat kita lihat
bahwa bullying memiliki dampak yang luas terhadap semua orang
yang terlibat di dalamnya, baik secara langsung maupun tidak langsung, dalam
jangka pendek dan dalam jangka panjang.
Dalam rangka mencegah bullying,
banyak pihak telah menjalankan program dan kampanye anti bullying di
sekolah-sekolah, baik dari pihak sekolah sendiri, maupun organisasi-organisasi
lain yang berhubungan dengan anak. Namun, pada nyatanya, bullyingmasih
kerap terjadi di sekolah-sekolah di Indonesia, seperti yang dapat kita amati
melalui kejadian baru-baru ini di salah satu SMA swasta yang disebutkan di awal
tulisan ini.
Lalu apakah yang dapat kita –sebagai perorangan- lakukan untuk
memerangi bullying?
1. Membantu anak-anak mengetahui dan memahami bullying
Dengan menambah pengetahuan anak-anak mengenai bullying,
mereka dapat lebih mudah mengenali saat bullying menimpa
mereka atau orang-orang di dekat mereka. Selain itu anak-anak juga perlu
dibekali dengan pengetahuan untuk menghadapi bullying dan
bagaimana mencari pertolongan.
Hal-hal yang dapat dilakukan untuk meningkatkan pemahaman anak mengenai bullying,
diantaranya:
·
Memberitahu pada anak
bahwa bullying tidak baik dan tidak dapat dibenarkan dengan
alasan maupun tujuan apapun. Setiap orang layak diperlakukan dengan hormat,
apapun perbedaan yang mereka miliki.
·
Memberitahu pada anak
mengenai dampak-dampak bullying bagi pihak-pihak yang terlibat
maupun bagi yang menjadi “saksi bisu”.
2. Memberi saran mengenai cara-cara menghadapi bullying
Setelah diberikan pemahaman mengenai bullying,
anak-anak juga perlu dibekali pengetahuan dan keterampilan ketika mereka
menjadi sasaran dari bullying agar dapat menghadapinya dengan
aman tanpa menggunakan cara-cara yang agresif atau kekerasan, yang dapat
semakin memperburuk keadaan.
Cara-cara yang dapat digunakan, misalnya dengan mengabaikan
pelaku, menjauhi pelaku, atau menyampaikan keberatan mereka terhadap pelaku
dengan terbuka dan percaya diri. Mereka juga dapat menghindari bullying dengan
berada di sekitar orang-orang dewasa, atau sekelompok anak-anak lain.
Apabila anak menjadi korban bullying dan cara-cara
di atas sudah dilakukan namun tidak berhasil, mereka sebaiknya didorong untuk
menyampaikan masalah tersebut kepada orang-orang dewasa yang mereka percayai,
baik itu guru di sekolah maupun orangtua atau anggota keluarga lainnya di
rumah.
3. Membangun hubungan dan komunikasi dua arah dengan anak
Biasanya pelaku bullying akan mengancam atau
mempermalukan korban bila mereka mengadu kepada orang lain, dan hal inilah yang
biasanya membuat seorang korban bullyingtidak mau mengadukan
kejadian yang menimpa mereka kepada orang lain.
Oleh karena itu, sangat penting untuk senantiasa membangun
hubungan dan menjalin komunikasi dua arah dengan anak, agar mereka dapat merasa
aman dengan menceritakan masalah yang mereka alami dengan orang-orang terdekat
mereka, dan tidak terpengaruh oleh ancaman-ancaman yang mereka terima dari para
pelaku bullying.
Dalam kehidupan masa kini yang serba sibuk dan penuh aktivitas,
semakin sulit bagi para orangtua dan anggota keluarga untuk
4. Mendorong mereka untuk tidak menjadi “saksi bisu” dalam kasus
bullying
Berdasarkan sebuah penelitian yang dilakukan pada anak-anak
sekolah dasar di Kanada, sebagian besar kasus bullying dapat
dihentikan dalam 10 detik setelah kejadian tersebut berlangsung berkat campur
tangan saksi –anak anak lain yang hadir saat kejadian tersebut berlangsung-
misalnya dengan membela korban bullying melalui kata-kata
ataupun secara fisik (memisahkan korban dengan pelaku).
Anak-anak yang menyaksikan kasus bullying juga
dapat membantu dengan cara:
v Menemani atau menjadi teman bagi korban bullying,
misalnya dengan mengajak bermain atau berkegiatan bersama.
v Menjauhkan korban dari situasi-situasi yang memungkinkan ia
mengalami bullying.
v Mengajak korban bicara mengenai perlakuan yang ia terima,
mendengarkan ia bercerita dan mengungkapkan perasaannya.
A.
Apabila dibutuhkan,
membantu korban mengadukan permasalahannya kepada orang dewasa yang dapat
dipercaya.
5. Membantu anak menemukan minat dan potensi mereka
Dengan mengetahui minat dan potensi mereka, anak-anak akan
terdorong untuk mengembangkan diri dan bertemu serta berteman dengan
orang-orang yang memiliki minat yang sama. Hal ini akan meningkatkan rasa
percaya diri dan mendukung kehidupan sosial mereka sehingga membantu melindungi
mereka dari bullying.
Terhadap anak-anak yang berisiko terkena bullying atau menjadi
korban bullying, lakukan langkah berikut ini:
· Jangan membawa barang-barang mahal atau uang
berlebihan. Merampas, merusak, atau menyandera barang-barang korban adalah
tindakan yang biasanya dilakukan pelaku bullying. Oleh karena itu, sebisa
mungkin jangan beri mereka kesempatan membawa barang mahal atau uang yang
berlebihan ke sekolah.
· Jangan sendirian. Pelaku bullying melihat anak
yang menyendiri sebagai “mangsa” yang potensial. Oleh karena itu, jangan
sendirian di dalam kelas, di lorong sekolah, atau tempat-tempat sepi lainnya.
Kalau memungkinkan, beradalah di tempat di mana guru atau orang dewasa lainnya
dapat melihat. Akan lebih baik lagi, jika anak tersebut bersama-sama dengan
teman, atau mencoba berteman dengan anak-anak penyendiri lainnya.
· Jangan cari gara-gara dengan pelaku bullying.
· Jika anak tersebut suatu saat terperangkap
dalam situasi bullying, kuncinya adalah tampil percaya diri. Jangan
memperlihatkan diri seperti orang yan lemah atau ketakutan.
· Harus berani melapor pada orang tua, guru,
atau orang dewasa lainnya yang dipercayainya. Ajaklah anak tersebut untuk
berani bertindak dan mencoba
6. Memberi teladan lewat sikap dan perilaku
Sebaik dan sebagus apapun slogan, saran serta nasihat yang
mereka dapatkan, anak akan kembali melihat pada lingkungan mereka untuk melihat
sikap dan perilaku seperti apa yang diterima oleh masyarakat. Walaupun tidak
terlihat demikian, anak-anak juga memerhatikan dan merekam bagaimana orang
dewasa mengelola stres dan konflik, serta bagaimana mereka memperlakukan
orang-orang lain di sekitar mereka.
Apabila kita ingin ikut serta dalam memerangi bullying,
hal paling sederhana yang dapat kita lakukan adalah dengan tidak
melakukan bullying atau hal-hal lain yang mirip dengan bullying.
Disadari maupun tidak, orang dewasa juga dapat menjadi korban ataupun
pelaku bullying, misalnya dengan melakukan bullying di
tempat kerja, ataupun melakukan kekerasan verbal terhadap orang-orang di
sekitar kita.
Bullying adalah suatu tindakan negatif
yang dilakukan secara berulang-ulang dimana tindakan tersebut sengaja dilakukan
dengan tujuan untuk melukai dan memnuat seseorang merasa tidak nyaman.
Pemahaman moral adalah pemahaman individu yang
menekankan pada alasan mengapa suatu tindakan dilakukan dan bagaimana seseorang
berpikir sampai pada keputusan bahwa sesuatu adalah baik atau buruk. Pemahaman
moral bukan tentang apa yang baik atau buruk, tetapi tentang bagaimana
seseorang berpikir sampai pada keputusan bahwa sesuatu adalah baik atau buruk.
Peserta didik dengan pemahaman moral yang
tinggi akan memikirkan dahulu perbuatan yang akan dilakukan sehingga tidak akan
melakukan menyakiti atau melakukan bullying kepada temannya.
Selain itu, keberhasilan remaja dalam proses
pembentukan kepribadian yang wajar dan pembentukan kematangan diri membuat
mereka mampu menghadapi berbagai tantangan dan dalam kehidupannya saat ini dan
juga di masa mendatang. Untuk itu mereka seyogyanya mendapatkan asuhan dan
pendidikan yang menunjang untuk perkembangannya.
1.
Hendaknya pihak
sekolah proaktif dengan membuat program pengajaran keterampilan sosial, problemsolving,
manajemen konflik, dan pendidikan karakter.
2.
Hendaknya guru
memantau perubahan sikap dan tingkah laku siswa di dalam maupun di luar kelas;
dan perlu kerjasama yang harmonis antara guru BK, guru-guru mata pelajaran,
serta staf dan karyawan sekolah.
3.
Sebaiknya orang tua
menjalin kerjasama dengan pihak sekolah untuk tercapainya tujuan pendidikan
secara maksimal tanpa adanya tindakan bullying antar pelajar
di sekolah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar